Ada kisah yang takkan pernah saya lupakan
saat beberapa hari tinggal di tempat yang sejuk ini. Saya benar-benar
berkesan bukan karena tiap saat bisa makan tempe dengan puas, namun
melihat bagaimana orang membuat tempe dan moralitas yang harus dijaga
pada saat membuatnya. Kehidupan keluarga pembuat tempe yang saya rangkum
dari cerita kakak saya, merupakan pelajaran hidup yang sangat berharga.
Semoga ada yang juga menyimak kisah ini dan mencicipi sedikit inspirasi
dari dalamnya.
***
Sudah sebulan ini Bu Nur gelisah. Pak
Fauzi, suaminya, selalu saja gagal membuat tempe dengan standar kualitas
yang seharusnya. Tempenya terkadang busuk sebelum waktunya. Pernah juga
saat akan dibawa ke pasar, tempenya lambat matang. Walhasil, hasil dari
menjual tempe tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
”Kalau begini terus, bagaimana bayaran sekoah anak-anak?” Bisik Bu Nur dalam hati.
Ia lalu membuat kopi hitam dengan aroma
menggugah selera dan beberpa potong pisang goreng. Kopi dan pisang
goreng adalah hidangan favorit suaminya sambil menemani menyiapkan
tempe-tempe yang akan dijual.
”Pak, minum dulu kopinya!” Asap wangi
kopi menebar dalam ruangan sempit tempat Pak Fauzi sedang menyusun
tempe-tempenya di jok belakang motornya.
Pak Fauzi menyeruput kopi dan menggigit
seujung pisang goreng. Ia tidak bicara apapun. Padahal istrinya ingin
suaminya bercerita tentang tempenya yang tak kunjung bagus hasilnya.
“Pak, apa yang kamu pikirkan selama ini. Kenapa tempe kita tak pernah bagus jadinya?”
Bu Nur memulai pembicaraan.
Bu Nur memulai pembicaraan.
”Tidak ada, Bu. Mungkin kita tidak bisa buat tempe yang bagus.” Pak Fauzi menimpali dengan dingin.
Apanya yang tidak bisa, Pak? Sampeyan kan
lahir dari keluarga pembuat tempe. Sebelum kita menikah, sampeyan juga
sudah pembuat tempe. Kampung kita ini terkenal sebagai pusat pembuat
tempe yang paling enak di kota ini, Pak.” Bu Nur tampak sedikit heran.
”Pak, sampeyan sedang ada masalah, ya?
Bilang saja, Pak. Kita harus segera mengakhiri ini. Kalau Bapak membuat
tempe dalam keadaan hati tidak tenang, tempe ini juga akan tidak bagus
hasilnya. Lalu darimana kita mencukupi kebutuhan sehar-hari dan sekolah
anak-anak?”
Lama Pak Fauzi terdiam. Sepertinya sangat berat ia mengeluarkan kata-kata. Diusapnya keringat didahinya dengan lengannya.
”Begini, Bu.” Pak Fauzi berkata pelan.
”Sudah sebulan ini uangku dipinjam teman
dekat. Dia sangat butuh uang untuk membayar cicilan mobilnya. Sudah tiga
bulan dia tidak bayar. Bila tidak dibayar, mobilnya akan disita dan dia
tidak bisa mengangkut sayur lagi ke pasar. Aku merasa bersalah tidak
memberitahu Ibu. Dia janji bulan ini uangnya sudah balik. Hingga sebulan
lebih, dia belum juga memberi kabar kapan bisa melunasi pinjamannya.
Aku khawatir Ibu marah karena keuntungan menjual tempe tidak aku
laporkan, malah dipinjamkan pada orang lain”
Bu Nur menghampiri Pak Fauzi. Wajahnya mendekat ke wajah Pak Fauzi. Dia memegang tangan Pak Fauzi dengan lembut
”Jadi, ini yang membuat Bapak membuat tempe dengan pikiran tidak tenang? Pantas saja tempenya gak jadi.”
Pak Fauzi mengangguk pelan. Wajahnya tertunduk malu berbalut sedih.
”Aku tidak mungkin melarang suamiku
berbuat baik. Apalagi orang yang meminjam itu sahabat baik kita.
Sudahlah, Pak. Relakan saja. Kalaupun dia tidak bisa membayar, Bapak
harus ikhlaskan Mudah-mudahan Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik”
Pak Fauzi merasa lega. Ada senyum terkulum di bibirnya. Ia menatap wajah istrinya yang telah memekarkan bunga di hatinya.
Esok harinya, tempe buatan keluarga Pak
Fauzi tampak bagus. Tidak ada lagi tempe yang busuk, tidak jadi atau
tidak matang. Tempe buatannya kali ini sangat menarik selera. Tak heran
bila para pembeli tempe di Pasar sangat menyukai tempe Pak Fauzi. Dalam
sebulan penghasilan Pak Fauzi meningkat tajam.
”Pak, tadi ada ibu-ibu datang ke rumah memberi kabar bahwa si Anu, sahabat Bapak meninggal.”
Pak Fauzi terdiam sejenak. Sahabat yang meminjam uang itu meninggal. Sambil mengucap doa belasungkawa ia juga bersyukur telah merelakan utangnya. Hatinya kini lega. Kerelaan dan ketenangan itu membawanya pada ketenangan hati dan rezeki yang berlimpah pada keluarganya.
Pak Fauzi terdiam sejenak. Sahabat yang meminjam uang itu meninggal. Sambil mengucap doa belasungkawa ia juga bersyukur telah merelakan utangnya. Hatinya kini lega. Kerelaan dan ketenangan itu membawanya pada ketenangan hati dan rezeki yang berlimpah pada keluarganya.
***
Sahabat, tempe adalah makanan paling
digemari oleh masyarakat. Dengan tempe, kita bisa menikmati lauk yang
bergizi dan murah. Gizi terpenuhi dan selera makan bertambah dengan
biaya terjangkau. Pembuat tempe dengan dedikasi tinggi
telah berjasa memenuhi kebutuhan kita akan lauk yang begizi dan murah.
Ia tidur larut malam mencuci kedelai dan mengupas kulitnya. Ia kemudian
memasak berkilo-kilo kedelai hingga matang. Ia meletakkan dan mencampur
ragi dengan hati-hati kemudian mencetak kedelai di tempatnya. Semua
dilakukannya dengan memelihara pikiran dan hatinya agar selalu tenang.
Tidak sedikit anak-anak penjual tempe
meraih kehidupan sukses. Ini hasil dari kerja orang tuanya yang
senantiasa memelihara pikirannya agar tenang. Penjual tempe tentu saja
tidak jualannnya berupa tempe busuk yang beracun atau tempe tidak matang
yang membuat sakit perut. Keberhasilan membuat tempe yang
tergantung pada ketenangan pikiran dan hati mungkin dipandang sebagai
mitos belaka.Faktanya pembuat tempe selalu dihadapkan pada kegagalan
membuat tempe saat pikiran dan hatinya tidak tenang.
Bekerja sepenuh hati dan dengan pikiran yang tenang menghantarkan kita pada karya terbaik. Orang dengan pikiran tenang akan fokus pada pekerjaan sehingga kesalahan terhindarkan. Pikiran dan hati yang tenang membuat semangat kerja terus menyala sehingga terpacu untuk menuntaskan pekerjaan sesempurna mungkin.
Sahabat, bila bekerja dengan makhluk
hidup seperti ragi atau jamur pada tempe maka akan langsung terlihat
hasilnya berupa kegagalan terbentuknya tempe saat pikiran tidak tenang,
bagaimana dengan pekerjaan lain. Pernahkah kita berpikir bahwa saat kita
bekerja dengan pikiran tak tenang akan berdampak pada kualitas barang,
jasa, pengetahuan, ketrampilan yang kita berikan pada orang lain.
Pernahkah kita menerawang, saat kita bekerja tidak dengan nurani yang
benar, hasil kerja kita akan berdampak buruk pada diri kita sendiri,
keluarga atau orang lain. Apakah kita pernah merenungkan seandainya
semua hasil pekerjaan diungkapkan hasilnya saat itu, betapa malu dan
ruginya kita.
Oh, seandainya pekerjaan korupsi langsung
mendapat akibat buruk yang memalukan dan merugikan pelakunya, langsung
saat ia memiliki niat saja, betapa negeri ini akan bersih dari korupsi.
Sungguh saya banyak harus belajar dari pembuat tempe yang senantiasa
memelihara hati dan pikirannya agar selalu tenang. (pustaka-ebook.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar